Padang, Tikalak.com – Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Sumbar berhasil mengungkap kasus dugaan pengoplosan Liquefed Petroleum Gas (LPG) 3 Kilogram bersubsidi.
Kabid Humas Pol Sumbar Kombes Pol. Dwi Sulistyawan, S.Ik mengatakan, pengoplosan ini dilakukan dengan cara memindahkan gas dari tabung LPG bersubsidi 3 Kg ke tabung gas 5,5 Kg dan 12,5 Kg non subsidi.
Pengungkapan kasus tersebut terjadi di Pangkalan gas resmi Pertamina yang di Kelurahan Batang Kabung, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang pada Rabu (15/2).
Sementara “Tersangka yakni berinisial SY (41) yang merupakan pemilik pangkalan,” kata Kabid Humas Polda Sumbar Kombes Pol Dwi Sulistyawan, Jumat (17/2) siang di Polda Sumbar saat konferensi pers.
Selain SY, polisi juga mengamankan dua tersangka lainnya berinisial BB dan NG serta penadah berinisial EA.
“Gas ini dipindahkan dengan cara memodifikasi regulator, setelah selesai dipindahkan tabung gas 5,5 kilogram dan 12,5 kilogram tersebut ditutup dengan segel palsu sehingga seolah-olah asli,” ungkapnya.
Sementara, Direskrimsus Polda Sumbar Kombes Pol Adip Rojikan, S.Ik menerangkan, dari gas LPG bersubsidi yang dipindahkan ke tabung gas non subsidi, SY mendapatkan keuntungan yang besar.
“Tersangka bisa mendapatkan keuntungan dua kali lipat lebih dari harga LPG subsidi tersebut,” pungkasnya.
Dikatakan, dalam keterangan SY, ia sudah cukup lama melakukan aksi pengoplosan ini, yaitu sejak Maret 2022 atau sudah hampir satu tahun.
Untuk tersangka SY, BB dan NG dikenakan Pasal 40 angka 9 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tahun 2022, tentang Cipta Kerja atas Perubahan ketentuan Pasal 55 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Untuk EA, ia dijerat pasal 480 KUHP jo pasal 55 55 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi yang ditambah dan dirubah pada paragraf 5 Pasal 40 angka 9 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
“Dipidana dengan ancaman pidana penjara paling lama enam tahun dan denda paling banyak Rp 60 miliar,” ujarnya.(*)