DHARMASRAYA,Tikalak.com.- Warga Kampung Baru Pulau Panjang, Nagari Lubuk Ulang Aling, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan, Drs. Werhanudin Bin Sa’id,
diduga menjadi korban kriminalisasi oleh aparat penegak hukum (APH) di Kabupaten Dharmasraya. Werhanudin diajukan ke meja hijau,dengan berbagai skenario janggal, Yang justru dilakukan oleh APH di Kabupaten Dharmasraya, meski lokasi perkara berada di Kabupaten Solok Selatan. Selain itu,
Berbagai proses hukum terhadap Werhanudin penuh kejanggalan. Mulai dari proses di Dinas Kehutanan, Polres Dharmasraya, Kejaksaan Negeri Dharmasraya, hingga Pengadilan Negeri Pulau Punjung, Dharmasraya.
Werhanudin divonis bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Pulau Punjung, Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, dan dijatuhi pidana 5 tahun penjara dan denda Rp1 miliar atas kasus dugaan pengrusakan hutan. Sidang dipimpin oleh Fajar Puji Sembodo, SH, dengan Hakim Anggota Taufik Ismail, SH dan Mazmur Ferdinandta Sinulingga, SH, pada Jumat sore (13/1/2023).
Pensiunan PNS dan Anggota DPRD Kabupaten Solok Selatan periode 2014-2019 tersebut didakwa melanggar UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan pasal 92 ayat 1 huruf b juncto pasal 17 ayat 2 huruf a. Sesuai dengan Nomor Register Perkara 102/Pid.B/LH/2022/PN.Plj.
Vonis oleh Majelis Hakim ini menjadi puncak dari rangkaian kriminalisasi terhadap Werhanudin. Berbagai kejanggalan terpapar dengan jelas. Di antaranya, locus delicti (tempat kejadian perkara) yang dinilai terjadi error in objecto sehingga melanggar kompetensi relatif, sesuai aturan di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 84, 85 dan 86. Yakni,
lokasi perkara berada di Nagari Lubuk Ulang Aling, Kecamatan Sangir Batang Hari, Kabupaten Solok Selatan, seluas 15.638,94 hektare, yang merupakan hak milik pribadi Werhanudin, sesuai dengan ranji dan alas hak ulayat adat yang dimiliki dan diakui oleh niniak mamak (pemangku adat) setempat.
Namun, Jaksa Penuntut Umum (JPU) “memaksakan” bahwa lokasi perkara berada di Hutan Produksi Terbatas (HPT) di Jorong Mendawa, Nagari Sikabau, Kecamatan Pulau Punjung Dharmasraya.
Tidak sampai di situ, “aroma” kriminalisasi semakin “amis”, saat di rangkaian persidangan, Majelis Hakim, menolak Pemeriksaan Setempat (PS), untuk memastikan lokasi Tempat Kejadian Perkara (TKP). Hal ini merupakan hak terdakwa sesuai Peraturan Mahkamah Agung (Per-MA) No.1 tahun 2014 tentang Pemeriksaan Setempat.
Jika vonis di Pengadilan Negeri Pulau Punjung ini inkrah (berkekuatan hukum tetap), maka akan menjadi Yurisprudensi (dasar hukum) bagi Kabupaten Dharmasraya untuk mencaplok wilayah Kabupaten Solok Selatan. Sehingga akan menimbulkan konflik tapal batas dan kewilayahan. Apalagi, Nagari Ulang Aling merupakan salah satu titik yang kaya dengan mineral logam emas dan wilayah penghasil kayu.
Penasihat Hukum (PH) Werhanudin dari Kantor Hukum Rudy Chairuriza & Rekan, yakni Inra, SH, mengaku sangat kecewa dengan vonis 5 tahun penjara dan denda Rp1 miliar dengan subsider selama 2 bulan. Menurutnya, keputusan ini adalah keputusan yang sangat keliru dan sangat fatal.
Seperti sidang seharusnya dilaksanakan di Pengadilan Negeri Kotobaru Solok, yang menjadi wilayah hukum pengadilan Solok Selatan. Kemudian, Majelis Hakim juga menolak Sidang Lokasi (Pemeriksaan Setempat) yang diajukan oleh terdakwa sendiri. Majelis Hakim menolak dengan alasan usia terdakwa yang sudah tua, meskipun hal itu justru diajukan oleh terdakwa sendiri.
“Banyak hal yang dilakukan oleh Majelis Hakim, Kejaksaan Negeri, Polres Dharmasraya, maupun Dinas Kehutanan Sumbar, yang merugikan klien kami. Karena TKP-nya bukan di Dharmasraya.
Yang lebih fatal, terkait alat bukti yang disita berupa alat berat jenis Dozer. Perlu diingat bahwa, dozer yang diamankan oleh Polhut (Polisi Kehutanan) di lokasi adalah jenis Dozer Caterpillar D3,
Sementara yang dijadikan barang bukti oleh Penuntut Umum adalah Dozer merek Caterpillar D6D. Banyak hal-hal lain yang tidak masuk akal yang ditimpakan kepada klien kami. Maka kami memutuskan banding atas vonis ini,” ujarnya