JAKARTA, TIKALAK.COM— Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengungkapkan kesenjangan akses informasi dan edukasi yang diterima oleh perempuan menjadi salah satu penyumbang besar terjadinya stunting pada anak.
“Permasalahan stunting berkaitan erat dengan isu gender serta isu-isu perempuan dan anak lainnya, terutama dalam keluarga,” ujar Menteri PPPA Bintang Puspayoga, Senin (28/8).
Menurut dia, persoalan yang dihadapi perempuan seperti akses terhadap informasi maupun layanan yang ada, keberadaan ruang untuk berpartisipasi, kontrol dalam pengambilan keputusan, persiapan perkawinan, kehamilan, menyusui, dan tumbuh kembang anak menjadi isu krusial yang harus benar-benar diperhatikan dalam meminimalkan terjadinya stunting pada anak di kemudian hari.
Untuk memastikan penurunan angka stunting yang menjadi salah satu fokus perhatian dalam rencana pembangunan berkelanjutan, perlu dilakukan pendekatan yang komprehensif dengan melibatkan seluruh sektor pembangunan. Caranya, melalui kemitraan dan kerja sama yang terbangun di level akar rumput, regional, hingga nasional, untuk bersama-sama bergerak
“Agar sama-sama bergerak tidak hanya dalam hal mengatasi stunting , tapi permasalahan lainnya yang juga saling berkaitan satu sama lain seperti isu ketidaksetaraan gender, isu perlindungan hak perempuan, dan isu perlindungan anak,” kata Bintang.
Ia mengatakan Indonesia masih dihadapkan dengan isu stunting yang merupakan ancaman dalam upaya pembangunan SDM yang berkualitas dan unggul. Indonesia menempati urutan ke-4 di dunia, dan ke-2 di Asia Tenggara terkait isu stunting . Sekitar 30 persen atau 1 dari 3 anak di bawah usia lima tahun mengalami stunting .
Merujuk hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi stunting pada anak adalah sebesar 21,6 persen, dimana angka tersebut masih lebih tinggi dibandingkan batas toleransi maksimal yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) yang menegaskan bahwa angka stunting di masing-masing negara harus kurang dari 20 persen.
Hal tersebut pun sejalan dengan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang menargetkan penurunan prevalensi stunting menjadi 14 persen.
Bintang pun mendorong kegiatan Gerakan Memasyarakatkan Makan Ikan (Gemarikan) untuk pemenuhan hak anak atas kesehatan. Gemarikan merupakan salah satu program nasional yang memberikan dampak langsung dalam upaya penanganan dan pencegahan stunting yang masih menjadi ancaman besar bagi Indonesia yang terus berupaya mengembangkan pembangunan SDM yang berkualitas dan unggul.
Sementara itu, Sekretaris Utama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tavip Agus Rayanto memaparkan ada enam provinsi yang mengalami kenaikan prevalensi stunting di tahun 2022 berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI).
“Ada enam provinsi yang mengalami kenaikan prevalensi stunting , yaitu Sulawesi Barat, Papua, Nusa Tenggara Barat, Papua Barat, Sumatera Barat dan Kalimantan Timur,” kata Tavip.
Berdasarkan data SSGI, prevalensi stunting Sulawesi Barat tahun 2022 yani 35 persen, sedangkan pada 2021 sebesar 33,8 persen. Kemudian, Papua melonjak cukup tinggi pada 2022 sebesar 34,6 persen, sebelumnya 29,5 persen pada 2021.
Selanjutnya, Nusa Tenggara Barat 32,7 persen (2022), sebelumnya 31,4 persen (2021). Papua Barat di tahun 2022 30 persen, sebelumnya di 2021 sebesar 26,2 persen. Sumatera Barat, 2022 sebesar 25,2 persen, sebelumnya di 2021 sebesar 23,3 persen. Sedangkan Kalimantan Timur, 23,9 persen (2022), sebelumnya 22,8 persen (2021).
Tavip juga menyampaikan, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi provinsi dengan prevalensi stunting tertinggi secara nasional di tahun 2022, yakni 35,3 persen, meskipun angka ini menurun dari sebelumnya, yakni 37,8 persen di tahun 2021.
Kabar baiknya, Provinsi Bali berhasil menjadi satu-satunya provinsi di Indonesia dengan prevalensi stunting terendah dan sudah melampaui target nasional, yakni 8 persen di tahun 2022, menurun dari tahun sebelumnya (2021) sebesar 10,9 persen. (red)