PADANG, TIKALAK.COM — Data Geografik Informasi Sistem (GIS) Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sumbar mencatat, sebanyak 14 izin Hak Guna Usaha (HGU) perusahaan sawit skala besar yang beroperasi di Sumatera Barat (Sumbar), akan berakhir atau kadaluarsa pada rentang tahun 2018 hingga 2029 nanti. Ini momentum yang tepat bagi pemerintah untuk menyusun mekanisme mengembalikan dan memulihkan kembali hak pengelolaan tanah ulayat eks HGU kepada masyarakat adat.
Belasan HGU perusahaan perkebunan sawit skala besar tersebut, tersebar di lima kabupaten yaitu, Kabupaten Agam, Pasaman Barat, Pesisir Selatan, Solok Selatan, dan Kabupaten Dharmasraya. Beberapa perusahaan kelapa sawit besar pemegang HGU diantaranya, bahkan dilaporkan masih tetap beroperasi meski jangka waktu HGU telah berakhir.
Kepala Departemen Lingkungan dan Advokasi WALHI Sumbar, Tommy Adam, mengatakan, izin belasan HGU kelapa sawit tersebut, diterbitkan pada masa era Orde Baru yang diduga sarat intrik serta penuh keganjilan peminggiran eksistensi keberadaan masyarakat hukum adat dan hak ulayat.
“Pada zaman itu bahkan ada narasi kepada para niniak mamak bahwa setelah HGU habis dalam jangka 20 hingga 35 tahun tanah akan dikembalikan lagi kepada kaum, nagari atau ulayat. Namun ternyata, istilah kabau pai kubangan tingga nyatanya tidak ada. Setelah HGU habis ternyata tanah pusako itu otomatis menjadi milik negara,” ujarnya kepada TIKALAK.COM Minggu (20/8) di Padang.
Menurut dokumen terbaru GIS Walhi Sumbar, perusahaan sawit skala besar yang akan segera habis masa izin dalam waktu lima tahun ke depan di Kabupaten Agam, diantaranya adalah adalah PT Mutiara Agam (Habis HGU 31 Desember 2026), PT AMP Plantation (Habis HGU 29 November 2027), serta PT Inang Sari yang bahkan HGU-nya telah dinyatakan habis terhitung sejak 31 Desember 2018 lalu.
Sementara di Kabupaten Pasaman Barat, Izin HGU dipegang oleh 4 perusahaan sawit yaitu, PT Perkebunan Anak Negeri Pasaman (Habis HGU 31 Desember 2022 ), PT Perkebunan Pelalu Raya (Habis HGU 31 Desember 2023), PT Gersindo Minang Plantation (Habis HGU 18 September 2027), serta HGU PT Anam Koto (Habis HGU 7 Juli 2029).
Lalu di Kabupaten Solok Selatan, HGU hanya dipegang oleh satu perusahaan sawit besar yakninya PT Tidar Kerinci Agung. HGU perusahaan ini, telah dinyatakan berakhir per tanggal 31 Desember tahun 2021 lalu.
Sementara di Kabupaten Dharmasraya, ada tiga perusahaan perkebunan sawit yang mengantongi 6 HGU. perusahaan tersebut diantaranya adalah PT Tidar Kerinci Agung yang memegang 2 izin HGU, PT Sumber Kencana Andalas memegang 3 izin HGU, serta terakhir PT Incasi Raya yang hanya mengantongi 1 izin HGU di Dharmasraya.
Dua izin HGU yang dipegang PT Tidar Kerinci Agung di Kabupaten Dharmasraya, satu diantaranya telah dinyatakan berakhir per 31 Desember 2021 silam. Sementara satu lagi, akan segera berakhir pada tanggal 31 Desember tahun 2029 mendatang.
Sedangkan HGU PT Sumber Kencana Andalas yang mengantongi total tiga izin konsesi HGU di daerah Dharmasraya, dua HGU mereka akan segera dinyatakan habis tanggal 5 Agustus 2029 serta satu lagi habis tanggal 30 September 2027.
Tomi Adam menambahkan, akar pokok persoalan konflik agraria yang marak terjadi antara masyarakat dan perusahaan sawit di Sumbar, berdasarkan pengamatan WALHI, terjadi lantaran tata batas areal perizinan HGU, kerap kali tumpang tindih atau menyerobot lahan kelola masyarakat.
Konflik agraria yang terjadi di Sumbar atau bahkan di banyak daerah di Indonesia pada hari ini, kata Tommy, juga tidak terlepas dari kenyataan diabaikannya partisipasi publik dan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan yang berkaitan dengan aktivitas investasi atau segala macamnya oleh pemerintah.
Atas dasar itu, menurutnya, pemerintah seharusnya melakukan evaluasi atau pengukuran ulang terhadap seluruh HGU yang telah diterbitkan pada masa orde baru yang sarat intrik dan kongkalingkong persekongkolan terselubung dibaliknya. “Untuk itu perlu dilakukan pengukuran ulang seluruh HGU. Selain itu, seharusnya dua tahun sebelum izin HGU berakhir, pemerintah mesti mulai melakukan peninjauan ulang perizinannya. apakah bisa dilanjutkan atau tidak,” ucap Tomi,
Kembalikan Tanah Pusako eks HGU
Lebih lanjut ia sampaikan, momentum berakhirnya rata-rata HGU perusahaan sawit skala besar yang kini menguasai puluhan ribu hektare tanah ulayat masyarakat adat Minangkabau di Sumbar, adalah momentum yang tepat untuk mengembalikan dan memulihkan kembali hak pengelolaan tanah ulayat eks HGU kepada masyarakat adat.
“Hal ini sedang kami perjuangkan pada momentum habisnya HGU PT Karya Agung Megah Utama yang ada di Lubuk Basung Kabupaten Agam. Kita masih menunggu model pemulihan tanah ulayat yang akan disediakan pemerintah atau negara setelah habisnya HGU, Apakah dengan program TORA atau bagaimana, “ kata Tommy.
Tommy menyampaikan, kasus PT KAMU di Nagari Lubuk Basuang dan Manggopoh Kabupaten Agam, cukup aneh dan perlu atensi publik. Di sana, menurutnya, Kerapatan Adat Nagari (KAN) Lubuk Basung selaku daerah operasi PT KAMU , bahkan telah berulang kali menyampaikan penolakan mereka terhadap rencana perpanjangan izin HGU PT KAMU yang telah berakhir di tahun 2020 lalu.
Namun meski izin HGU telah habis, pada kenyataannya PT KAMU dan segala aktivitas panen dan produksi CPO di fasilitas pabrik milik perusahaan itu, nyatanya masih tetap aktif beroperasi seperti biasa tanpa ada tindakan apapun dari instansi pemerintah terkait.
“Kita tidak tahu kenapa mereka tetap beroperasi meski HGU-nya telah habis, padahal disana ada aspek pajak dan perizinan yang semestinya harus jelas. Saat ini PT KAMU masih beroperasi. WALHI Sumbar sedang mengadvokasi ini,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, WALHI Sumbar bahkan saat ini tengah berencana menyeret PT KAMU ke meja hijau atas dugaan pelanggaran undang-undang perkebunan yang dilakukan oleh anak perusahaan sawit grup usaha WILMAR ini. Mirisnya, kasus PT KAMU yang potensial menimbulkan gejolak dan konflik antara masyarakat dan perusahaan ini, bukanlah kasus tunggal di Sumbar.
WALHI mencatat, pada rentang waktu tahun 2019, 2021 dan 2023, ada sekitar 5 sampai 7 izin HGU yang telah dan akan segera berakhir dan potensial menjadi sumber masalah baru pada kemudian hari.
“Selain PT KAMU di Nagari Manggopoh dan Lubuk Basuang, PT Inang Sari di Bawan yang izin HGU-nya telah berakhir per 31 Desember 2018 lalu juga melakukan hal yang sama. Mereka sampai kini masih beroperasi. Pembiaran-pembiaran seperti inilah yang aneh dan menjadi tanda tanya besar,” ucapnya
Bagi WALHI dan elemen masyarakat sipil dan adat Sumbar lainnya, sampai Tommy, penguasaan tanah ulayat eks HGU harus dikembalikan lagi kepada masyarakat adat dengan status tanah ulayat. Hal itu perlu dilakukan agar pemerintah dan negara tidak bisa semena-mena menerbitkan izin investasi diatasnya.
“Apalagi di Sumatera Barat atau Minangkabau, sajangka sajo tanah ado yang punyo. Tanah ulayat adalah tanah pusako. Hilang pusako hilang sako. Hilang tanah hilang adat. Jadi model yang diterapkan di Pulau Jawa atau daerah lainnya, tidak cocok dengan masyarakat Sumbar yang memiliki keterikatan yang kuat dengan tanah ulayat,” ungkap dia.
Tommyi menyatakan, WALHI dan elemen masyarakat sipil lainnya menaruh harapan kepada draft Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Tanah Ulayat yang saat ini sedang digodok DPRD Sumbar. Sebab dalam Ranperda itu, menurutnya, terdapat pasal yang menyatakan bahwa penguasaan tanah ulayat eks HGU, bakal dipulihkan dan dikembalikan lagi kepada masyarakat hukum adat seperti sedia kala.
“Didalam draft ranperda tanah ulayat ada frasa yang menyatakan hak pengelolaan akan dipulihkan dan dikembalikan lagi kepada ulayat. Jika sudah begitu, tinggal lagi kita menunggu mekanisme pengembalian hak pengelolaan tanah dari negara kepada masyarakat hukum adat,” pungkas Tomi. (vand)