Tikalak.com–Beberapa waktu yang lalu, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 121 Tahun 2022 tentang Badan Pengarah Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua. Lembaga Non-Struktural yang juga dikenal sebagai Badan Pengarah Papua ini berperan dalam upaya sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi dan koordinasi percepatan pembangunan dan pelaksanaan Otonomi Khusus wilayah Papua.
Struktur organisasi ini dipimpin oleh Wakil Presiden. Sementara berbagai kementerian menjadi anggota sesuai bidangnya masing-masing. Keanggotaan pada tingkat bawah juga diisi oleh perwakilan setiap provinsi di wilayah Papua dengan kategori Orang Asli Papua yang terlepas dari unsur-unsur birokratis dan politis, semisal DPR, DPD, DPRP, DPRK maupun keanggotaan partai politik.
Menurut Ketua MPR for Papua, Yorrys Raweyai, eksistensi dan peran kelembagaan Badan Pengarah Papua mengingatkan kita pada Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) yang dibentuk pada 2011 silam. Tujuannya pun tidak jauh berbeda, yakni sebagai usaha untuk mengkomunikasikan dan mengakselerasi pembangunan di Tanah Papua. Namun, Yorrys meragukan efeketivitas kinerja lembaga tersebut, dalam praktiknya, sebagaimana UP4B, tidak berjalan seperti yang diharapkan.
“Lembaga semacam UP4B sebelumnya tidak cukup sensitif terhadap akar masalah yang sedang melanda Papua. Seperti halnya UP4B, Badan Pengarah Papua juga begitu miskin dalam merespons situasi konfliktual yang saat ini sedang terjadi. Belum lagi, kebijakan otonomi khusus sebagai legal transitional justice (kebijakan transisional) dalam rangka memproteksi dan mengafirmasi Orang Asli Papua serta seluruh kepentingan di dalamnya terkesan kehilangan arah, sebab tidak menyediakan ruang transisi yang memadai bagi percepatan pembangunan itu sendiri”, tutut Yorrys dalam keterangannya, Rabu (2/11)
Ketua Komite II DPD RI itu menyatakan bahwa tidak ada satu nomenklatur aturan pun yang mengarahkan kerja-kerja Badan Pengarah Papua ini untuk melibatkan wakil rakyat di tingkat pusat maupun daerah, baik itu DPR, DPRP, DPRK dan DPRP serta DPD yang justru lebih mampu memberi masukan sosiologis dan politis. Bagi Yorrys, persoalan Papua dewasa ini tidak sekedar berkutat pada persoalan pembangunan infrastruktur fisik, pemerimntahan dan keuangan, tapi juga kesiapan kultural yang justru senantiasa menjadi hambatan-hambatan psikologis dalam merespons berbagai persoalan.
“Elemen-elemen masyarakat yang selama ini bersuara banyak tentang persoalan Papua tidak dilibatkan secara aktif. Padahal pemerintah memerlukan strategi bottom up dalam menggali informasi tentang bagaimana masyarakat merespons percepatan pembangunan yang mereka rasakan”, tegas Yorrys.
Anggota DPD RI Dapil Papua itu mencontohkan pembangunan jalan trans papua yang menjadi sorotan publik. Triliunan rupiah yang digelontorkan untuk pembangunan jalan dan pembukaan isolasi yang bertujuan baik, justru dipandang sebagai ancaman dan terkesan sebagai proyek yang tidak sepenuhnya menyelesaikan persoalan. Sementara di sisi lain, masyarakat Papua terus mempersoalkan kekerasan demi kekerasan serta pelanggaran hak asasi manusia yang masih saja terjadi. Itu artinya, proyek percepatan pembangunan ini tidak berkorelasi efektif, efesien dan relevan dengan kondisi masyarakat pada tataran akar rumput.
“Saya meminta pemerintah mempertimbangkan ulang desain kinerja Badan Pengarah Papua agar tidak jatuh ke dalam kegagalan yang sama di masa lalu. Pemerintah tidak boleh terkesan menyentralisasi persoalan Papua dan meminggirkan suara-suara bising di daerah yang direpresentasikan oleh para wakil rakyat dan perwakilan masyarakat adat yang memperoleh legitimasi politis, sosial dan kultural di mata publik Papua. DPR, DPD dan DPRD serta MRP harus dilibatkan dalam proses percepatan tersebut”, desak Yorrys.
Yorrys khawatir, jika tidak didesain ulang, maka Badan Pengarah Papua bentukan pemerintah akan senantiasa memakai kaca mata kuda dalam memandang situasi Papua. Karena itu dapat dipahami jika Badan Pengarah Papua tidak juga memasukkan respons atas suasana konflktual sebagai pertimbangan untuk dikelola dengan baik. Situasi konfliktual dengan pihak-pihak yang dianggap dalang, semisal OPM, TPNPB dan KNPB, tidak lebih sebagai organisasi teroris yang mengancam kedaulatan. Bukan organisasi-organisasi yang muncul dari keresahan publik Papua, dan karenanya memerlukan pendekatan sosial dan budaya serta kemanusiaan yang bermartabat dan berkeadilan.
Yorrys yang juga Tokoh Papua ini juga memahami bahwa Papua adalah isu strategis dan karenanya Papua memerlukan kebijakan strategis sebagai bagian dari kepentingan nasional. Namun pola-pola responsibilitas terhadap Papua tidak boleh tersentralisasi sekedar kepentingan pemerintah atau kekuasaan semata.
“Pembangunan di Papua memang perlu percepatan. Tapi percepatan yang dimaksud harus mengakomodasi kearifan-kearifan lokal yang selama ini cenderung terpinggirkan dan diabaikan. Saya meminta pemerintah tetap konsistens dan secara komprehensif menjalankan amanah Otonomi Khusus Jilid II. Bukan dengan melahirkan kebijakan berupa lembaga yang didasari atas tafsir sepihak dan cenderung sentralistik”, tutup Yorrys.