Batam – Skandal lingkungan berskala besar kembali menampar wajah hukum dan moral di Kepulauan Riau. PT Tiger Trans Internasional diduga menjadi biang kerok pembuangan limbah beracun hasil pembakaran kapal fiber ke perairan Pulau Bulan. Ini bukan pelanggaran biasa—ini kejahatan lingkungan kelas berat yang bisa menyeret pelaku hingga ke balik jeruji besi.
Limbah yang dibuang ke laut bukan sisa rumah tangga, melainkan residu pembakaran material fiber berbahaya seperti resin, fiberglass, hingga sisa bahan bakar. Semua itu masuk kategori B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang pengelolaannya diatur ketat oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009.
Pasal 104 undang-undang tersebut menyatakan tegas:
“Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin dipidana penjara maksimal 3 tahun dan denda hingga Rp3 miliar.”
PT Tiger Trans Internasional saat ini sudah diambang jerat hukum. Jika proses penegakan hukum berjalan lurus dan tidak disuap, maka bukan mustahil manajemen perusahaan akan segera memakai baju tahanan.
Namun ironi justru terjadi:
Tidak ada penyegelan, tidak ada penyidikan, tidak ada pernyataan resmi. Dinas Lingkungan Hidup dan Dinas Kelautan Provinsi Kepri justru bungkam membisu. Mereka menutup mata dan telinga, seolah limbah beracun bisa lenyap bersama gelombang laut. Padahal nelayan kehilangan mata pencaharian, ikan-ikan mati, dan air laut berubah hitam beracun.
“Kami tak bisa lagi melaut. Air laut bau racun, tak ada ikan. Tapi tak satu pun pejabat peduli. Kami ini masih warga negara atau sudah dibuang seperti sampah?” ungkap salah satu nelayan setempat dengan nada getir.
Lebih menjijikkan lagi, beredar informasi bahwa aksi pembuangan limbah ini diloloskan dengan suap Rp60 juta. Jika benar, maka ini bukan sekadar pencemaran, tapi korupsi berjamaah yang melibatkan aktor perusahaan dan oknum pejabat.
Maka pertanyaannya kini berubah dari “siapa pelaku?” menjadi “siapa saja yang ikut makan uang haram itu?”. Dan jawaban itu hanya bisa terungkap lewat penyelidikan serius oleh penegak hukum. Jika tidak, rakyat akan anggap: diamnya aparat adalah pengakuan tidak langsung atas keterlibatan.
Kejaksaan, Kepolisian, hingga KPK wajib turun tangan. Tidak ada alasan menunggu laporan, karena bukti dan saksi sudah bertebaran. Media dan masyarakat siap menjadi pelapor. Jika lembaga negara tetap diam, maka rakyat punya hak untuk menuntut lewat jalan lain—baik hukum, maupun gerakan sipil.
PT Tiger Trans Internasional harus bertanggung jawab secara hukum dan moral. Jika tidak segera ditindak, maka satu demi satu perusahaan akan meniru—karena tahu hukum bisa dibeli, dan laut bisa disulap jadi tong sampah raksasa.
Kepada pejabat yang bungkam, waspadalah. Kalian sedang berjalan di ujung tanduk. UU 32/2009, UU Tipikor, dan KUHP siap menjatuhkan jerat pidana bukan hanya kepada pelaku utama, tapi juga siapa pun yang membiarkan, menutupi, atau mengambil keuntungan dari kejahatan ini.
Frans