Malinau,Tikalak.com-– Melansir data yang diperoleh dari PLN, terdapat ratusan desa di Kalimantan Utara (Kaltara) yang masih belum terlayani listrik oleh PLN. Selain itu, hingga saat ini, masih ada 172 desa berlistrik non PLN.
Berdasarkan data tersebut, di Kabupaten Malinau yang memiliki 109 desa, ada 52 desa dialiri listrik PLN dan 57 desa berlistrik non PLN. Namun kondisi dilapangan menunjukan hal yang berbeda.
Dalam kunjungannya ke Desa Tanjung Nanga, Kecamatan Malinau Selatan Hulu, Kabupaten Malinau, Provinsi Kaltara, anggota Komite I Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Fernando Sinaga prihatin setelah melihat langsung dan merasakan tidak adanya jaringan listrik di desa yang terkepung oleh pertambangan batubara tersebut.
Bukan hanya belum teraliri listrik, di Desa Tanjung Nanga ini warganya juga sudah bertahun–tahun harus menghirup udara yang berdebu tebal dan terpolusi lantaran sangat dekat dengan aktifitas tambang batubara. Suara bising juga kerap dirasakan oleh warga desa dari aktifitas tambang batubara.
Ketika ditanyakan langsung oleh Fernando Sinaga soal kondisi Desa Tanjung Nanga yang kian memburuk ini, salah satu tokoh masyarakat desa, Agus Ir memberikan penjelasan.
Menurut Agus, penyebab belum teraliri listrik di Desa Tanjung Nanga ini adalah karena desa ini berada didalam kawasan perusahaan batubara.
“Desa Tanjung Nanga sudah berusia 48 tahun Pak Fernando, sedangkan IUP perusahaan batubara disini baru mulai 2013. Kami lebih lama ada disini, tetapi belum juga dialiri listrik. Tolong perjuangkan desa kami untuk mendapat listrik”, tegas Agus kepada Fernando Sinaga.
Agus mengatakan, perusahaan berikan aliran listrik bagi warga disini secara bergiliran, yaitu 3 malam listrik sampai jam 12 malam, 3 malam berikutnya sampai jam 6 pagi. Alasannya, ungkap Agus, karena dianggap minyaknya tidak cukup.
“Listrik secara bergiliran itu bantuan dari KPUC, tetapi kami tetap bayar. Ada sekitar seribuan jiwa yang tinggal di Desa Tanjung Nanga. Padahal sudah ada juga jalan disini yang dibangun oleh Pemkab, tetapi listrik masih belum jelas”, lanjut Agus.
Menanggapi hal itu, Fernando Sinaga meminta Pemerintah Desa membuat surat resmi pengajuan listrik kepada PLN.
“Surat dari Pemdes Tanjung Nanga kepada PLN akan saya teruskan ke berbagai pihak terkait, bukan hanya ke PLN. Ketiadaan listrik di desa ini tidak boleh didiamkan, perusahaan batubara disini yang tidak patuh untuk bertanggungjawab sosial harus kita persoalkan agar memperhatikan nasib dan kesejahteraan warga desa. Saya juga akan hubungi Pak Gubernur untuk bertindak”, tegas Fernando.
Permasalahan lainnya di Desa Tanjung Nanga ini yakni soal debu dan bising sebagai akibat dari kegiatan tambang batubara.
“Desa Tanjung Nanga ini pernah dionabatkan sebagai desa terbersih pada sekitar tahun 2012. Kini desa kami menjadi desa terpolusi dan debu tebal batubara. Kesehatan kami disini sudah pasti terganggu dan kami kwatir dengan masa depan kesehatan generasi muda kami”, ujar Agus.
Agus menambahkan, warga disini tidak paham soal dana debu sebagai kompensasi dari perusahaan batubara, hanya saja PT KPUC misalnya, memberikan keuntungan sejumlah seribu metrik ton batubara kepada desa. Sedangkan perusahaan lainnya memberikan 2 ribu metrik ton. Kesemuanya itu diberikan kepada Pemdes Tanjung Nanga setiap 3 bulan.
“Jumlahnya sekitar Rp. 1,5 miliar. Dana itu digunakan untuk pembangunan dan dibagi langsung ke masyarakat desa oleh Pemdes”, ungkap Agus. (*)