PADANG, TIKALAK.COM — Meningkatnya permohonan perkara isbat nikah di Pengadilan Agama (PA) Padang membuktikan bahwa semakin maraknya pernikahan yang dilakukan secara siri.
Kondisi ini pun mendapat sorotan tajam berbagai kalangan mulai dari bundo kanduang, LKAAM, dan beberapa akademisi. Mereka menilai, fenomena nikah siri ini tak mencerminkan adat dan budaya di Minangkabau.
Seperti diketahui, jumlah isbat nikah di Kota Padang mengalami peningkatan. Pada Januari sampai Agustus 2023, jumlah perkara isbat nikah yang tercatat di PA Padang sebanyak 187 kasus dimana 117 sudah diputus sah oleh hakim. Sementara itu pada tahun 2022 dengan rentang waktu yang sama jumlah kasus isbat nikah 148 kasus dan 93 sudah diputus hakim.
Ketua PA Padang, Nursal mengatakan, isbat nikah dilakukan karena masyarakat yang dulunya menikah tidak melalui jalur hukum sudah merasa terdesak karena pernikahannya tidak terdata di pemerintah. “Biasanya mereka mengajukan isbat nikah untuk menyelamatkan keluarga, artinya mereka membutuhkan data kependudukan. Karena memang pada saat seseorang tidak terdata, itu akan sulit mengurus segala hal yang berkaitan dengan instansi pemerintahan,” ujarnya, Selasa (23/8).
Ia mengatakan, isbat nikah muncul karena adanya nikah siri yang dilakukan oleh masyarakat. Nikah siri tersebut terjadi karena banyak faktor, baik faktor yang timbul dari dalam maupun dari luar. Ada masyarakat yang awalnya melapor ke KUA, tapi mereka terkendala uang untuk memenuhi segala sesuatunya, karena tidak mau repot mengurus hal-hal tersebut, maka tidak sedikit yang memilih untuk nikah siri.
“Ada juga karena orang tuanya tidak setuju, mereka nekat yang namanya kawin lari, ada juga yang nikah siri karena sudah terlanjur hamil di luar nikah, dan ada juga yang poligami karena permasalahan internal, istrinya tidak bisa memberikan keturunan. Permasalahan-permasalahan seperti itulah yang sering kami terima,” katanya.
Ia mengaku permasalahan nikah siri ini akan berkesinambungan dengan segala hal yang berkaitan dengan anak. Anak-anak yang akan melanjutkan pendidikan akan memerlukan dokumen sebagai syarat pendaftaran. Pada saat dokumen tersebut tidak ada karena orang tuanya nikah siri, maka hal itu akan merugikan anak.
“Nanti juga akan berlanjut kepada anak yang ingin menikah, menikah itu syaratnya apa, Kartu Keluarga (KK), Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan sebagainya. Sedangkan surat-surat tersebut mereka tidak punya, apakah mereka akan melanjutkan dengan nikah siri lagi, kalau begini kapan rantai seperti ini akan terputus,” tutur Nursal.
Ia juga mengatakan, untuk mencegah terjadinya nikah siri, PA bekerja sama dengan KUA dan kecamatan untuk mengimbau masyarakat agar memahami betapa pentingnya menikah melalui jalur hukum supaya tidak terjadi kesulitan di kemudian hari.
“Bagaimanapun, PA hanya menerima kasus yang sesuai prosedur. Pada saat ada pengaduan masyarakat, mereka memerlukan bukti nikah, maka kami arahkan ke KUA. Karena yang mengeluarkan buku nikah bukan PA, melainkan KUA. Nanti apabila sudah sesuai prosedur, maka akan dilakukan sidang isbat di sini. Nanti juga akan ditanyakan kepentingannya untuk apa,” katanya.
Terhindar dari Pengurusan Dokumen
Sementara itu, Sosiolog Universitas Negeri Padang (UNP), Erianjoni mengatakan, fenomena nikah siri dapat dilihat dari motif pelaku. Biasanya nikah siri dilakukan agar terhindar dari pengurusan dokumen yang dianggap sulit oleh masyarakat.
“Ada beberapa faktor ya, orang yang ingin poligami, namun terhambat oleh izin istri, ada pegawai negeri yang terikat oleh peraturan kepegawaian. Untuk terhindar dari surat-menyurat yang ribet itu, mereka nikah siri. Ada juga laki-laki punya simpanan, tapi takut dosa, dia nikah siri. Ada anak-anak di bawah umur, itu jelas melanggar undang-undang pernikahan. Ketentuan umur sudah jelas,” ujarnya.
Ia menjelaskan, yang paling dirugikan dalam nikah siri adalah pihak perempuan. Menikah jika tidak ada kekuatan hukum, nanti terjadi kekerasan dalam rumah tangga atau si suami menceraikan istrinya, pada saat ingin membuat pengaduan kepada pihak berwajib, si perempuan akan kesulitan dan tidak mendapatkan haknya.
“Sedangkan kalau sebenarnya di jalur hukum, ada hak bagi perempuan, baik itu nafkah atau hak-hak yang lain yang seharusnya dia terima. Karena sudah terlanjur nikah siri, perempuan tidak bisa menuntut apapun sehingga dia kehilangan hak,” katanya.
Ia melihat bahwa nikah siri seolah-olah sudah menjadi lifestyle. Karena menurutnya orang-orang sudah menganut budaya praktis. “Menikah kapan perlu, mana yang cepat. Karena orientasinya sudah berbeda. Seharusnya orientasi menikah itu untuk berkeluarga, tapi mirisnya sekarang banyak yang orientasinya hanya untuk kepuasan seksual saja,” ucapnya.
Ia menyayangkan pemerintah yang seolah-olah memberi wadah untuk pelaku nikah siri. Ada beberapa kebijakan seperti nikah massal yang dilakukan di beberapa tempat. Ketersediaan fasilitas tersebut dikhawatirkan akan berdampak kepada lambatnya kesadaran masyarakat untuk memahami pentingnya menikah di jalur hukum.
“Seharusnya pemerintah mengkampanyekan larangan nikah siri agar masyarakat sadar hukum, agar pernikahan memiliki kekuatan hukum. Soalnya nanti buntut nikah siri ini akan panjang, contohnya orang yang terdesak memerlukan buku nikah tapi merasa mengurusnya hal yang sulit, timbul kasus jual beli buku nikah. Mirisnya, hal tersebut dilakukan oleh oknum-oknum negara yang tidak bertanggung jawab,” tuturnya.
Jasa Nikah Siri Beredar di Media Sosial
Pakar Hukum Islam Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol Padang, Fitra Neli, mengatakan, nikah siri yang masih terjadi di masyarakat dikarenakan kurangnya pemaknaan tentang nikah siri.
“Sudah banyak yang memakai jasa nikah siri ini, kemarin itu ada yang mahasiswa penelitian skripsi tercatat ada 200-300 orang yang memakai jasa tersebut,” ujar Fitra Neli kepada TIKALAK.COM Jumat (1/9).
Lebih jauh dkatakannya, nikah yang tidak tercatat namanya nikah siri, tapi nikah siri ini ada dua. Pertama, nikah di bawah tangan yang lengkap rukun dan syaratnya, sah secara syariat dan tidak ada pengulangan nikah saat mengurus isbat. Kedua, nikah di bawah tangan namun tidak lengkap rukun dan syaratnya, tidak sah secara syariat yang seperti ini harus diulang lagi nikahnya.
Ia mengatakan kurangnya edukasi tentang nikah siri ini membuat masyarakat tidak paham akibat nikah siri. “Masyarakat perlu paham tentang makna pernikahan yang sebenarnya, banyak nikah siri yang dilakukan oleh masyarakat ini terjadi karena Masyarakat tidak paham apa akibat yang ditimbulkan dikemudian hari, kemudian akibat hukum apa yang berdampak bagi pelaku terutama bagi Perempuan dan bahkan anak-anaknya,”ujarnya.
Seterusnya Fitra Neli mengatakan, pihak yang paling dirugikan adalah perempuan, karena apabila nikah siri dilakukan, istri secara hukum tidak memiliki hak atas suaminya karena status perkawinannya tidak memiliki kekuatan hukum.
“Seperti kasus apabila nantinya terjadi perceraian, perempuan tidak bisa menuntut haknya seperti hak nafkahnya, bahkan itu berkelanjutan jika mereka memiliki anak, maka anaknya tidak berhak mendapatkan nafkah dari ayahnya,” ujarnya.
Ia menambahkan, untuk menyikapi fenomena maraknya nikah siri, pemerintah seharusnya menutup segala celah kesempatan melakukan pernikahan siri, dan menindaklanjuti pelaku yang memberikan jasa nikah siri kepada masyarakat. Selain itu pemerintah seharusnya lebih memantau dan memberi edukasi kepada masyarakat agar mereka tahu apa dampak, akibat hukum, dan betapa ruginya melakukan nikah siri ini, dan mengimbau masyarakat agar menikah secara sah sesusai dengan hukum yang berlaku. (vand)