Tikalak.com–Konflik tanah ulayat, tanah eks HGU, tanah eks Duta Palma, perubahan kawasan hutan, dan konflik batas wilayah administrasi, menjadi beberapa persoalan pertanahan yang berhasil dicatatkan Komite I DPD RI dalam kegiatan Kunjungan Kerja (kunker) yang dilaksanakan di Provinsi Riau. Kegiatan ini bertujuan untuk mendapatkan berbagai permasalahan Reforma Agraria yang terjadi di Daerah (inventarisasi) untuk kemudian menjadi dasar pengawasan atas pelaksanaan Reforma Agraria (25/09).
Pertemuan dilaksanakan di ruang rapat Komplek Gubernuran Provinsi Riau. Delegasi Komite I dipimpin oleh Senator Darmansyah Husein selaku Wakil Ketua Komite I, didampingi oleh Senator Misharti (Riau); Senator M. Syukur (Jambi); Ajieb Padindang (Sulsel); Andi Nirwana S. (Sultra); Senator Arya Wedakarna (Bali); Cherish Harriette Mokoagow (Sulut); dan Ajbar (Sulbar). Disambut oleh Asisten I Provinsi Riau. Hadir juga sejumlah Forkompimda: Kajati Riau, Plt. Kanwil ATR/BPN Riau, Danrem Riau, Polda Riau, Perwakilan Rektor Universitas di Riau, Tokoh Lembaga Adat Melayu Riau, dan sejumlah Organisasi Perangkat Daerah Riau.
Dalam sambutannya, Senator Darmansyah menyatakan sejumlah persoalan pertanahan yang terjadi antara lain: realisasi redistribusi tanah, penatausahaan tanah, pengadaan tanah untuk kepentingan umum, penyelesaian ganti rugi dan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Darmansyah juga menegaskan bahwa penyelesaian konflik pertanahan sebagai salah satu indikator keberhasilan Reforma Agraria. Konflik sendiri dapat terjadi karena persoalan administrasi, sertifikat ganda, adanya mafia tanah, dan sebagainya. Bahwa pergantian Menteri merupakan sinyal untuk memastikan keberhasilan reforma agraria, dan dalam Raker dengan Komite I, Menteri ATR /Kepala BPN mebyatakan bahwa konflik pertanahan menjadi prioritas untuk diselesaikan termasuk pemberantasan mafia tanah.
Sementara sejumlah tokoh masyarakat, melalui Ketua Harian Lembaga Adat Melayu Riau menyampaikan perlunya perhatian yang serius dari Pemerintah dan Parlemen mengenai persoalan tanah ulayat yang terjadi di Riau, dimana hak-hak tanah ulayat belum dapat dinikmati masyarakat adat, seperi halnya aset eks Dulta Palma yang merupakan sebagai tanah ulayat atau adat, “asetnya kalau bisa dikembalikan ke masyarakat adat untuk dapat dimanfaatkan masyarakat”.
Tanah-tanah bekas HGU juga haruslah dikembalikan ke masyarakat adat yang selama ini memang bagian dari tanah adat, kasus tanah Sinama Nenek seluas 4000 ha yang dimanfaatkan oleh PTPN V. Bahwa 400-500 ribu masyarakat miskin yang ada di Riau berasal dari masyarakat adat padahal mereka memiliki tanah ulayat yang tidak dapat dinikmati. Masyarakat Adat meminta Pemerintah untuk mempertimbangkan “sertifikat komunal” bagi masyarakat adat sebagai bentuk recoqnisi (pengakuan) dan pelindungan terhadap hak-hak masyarakat adat.
Sementara Plt. Kanwil ATR/BPN menjelaskan sejumlah kendala yang dihadapi dalam melakukan Pendaftaran Tanah Sertifikat Lengkap (PTSL), anta lain: 1) perubahan fungsi Tata Ruang dari non kawasan hutan menjadi kawasan hutan; 2) bidang tanah terletak di areal gambut (PIPPIB) sehingga tidak dapat dilakukan pemeliharaan data; 3) masyarakat enggan melakukan PTSL karena adanya biaya BPHTB; 4) Hambatan dalam pencapaian target SHAT karena budaya dan adanya kesulitan mengumpulkan identitas pemilik tanah; dan sebagainya.
Kunker yang berlangsung serius dan penuh keakraban ini berakhir pada pukul 13.00 WIB dengan suatu kesepahaman bahwa konflik pertanahan harus segera dituntaskan khususnya yang terdampak bagi masyarakat adat.
Pimpinan Komite I DPD RI
Ir. H. Darmansyah Husein
Wakil Ketua